Selasa, 15 November 2016

PENGELOLAAN VEGETASI DAN HASIL AIR



 BAB XI
PENGELOLAAN VEGETASI DAN HASIL AIR

Daerah Aliran Sungai (DAS)
Suatu DAS adalah Daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS – DAS disebelahnya oleh suatu pembagi (devide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air permukaan yang berasal dari yang di kelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan (Linsley dan Franzini, 1989).
Pengetahuan tentang proses – proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS bermanfaat bagi pengembangan sumberdaya air dalam skala DAS. Dalam sistem hidrologi ini, peranan vegetasi sangat penting karena kemungkinan intervensi manusia terhadap unsur tersebut amat besar. Vegetasi dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungannya dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dan dengan demikian mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan (Asdak, 2002).
Dalam suatu DAS, anak sungai dibagian atas akan bersambung dengan anak sungai yang lebih besar dibawahnya. Setiap anak sungai menghasilkan hidrograf aliran yang menunjukkan respon DAS terhadap curah hujan. Respon tersebut diwujudkan dalam bentuk kurva hidrograf aliran kemudian dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi kondisi hidrologi DAS yang bersangkutan. Ketika satu anak sungai bergabung dengan anak sungai yang lain dibawahnya, aliran air kedua anak sungai tersebut akan menjadi satu, tetapi debit puncak untuk kedua anak sungai tersebut tidak terjadi secara bersamaan. Debit puncak untuk satu anak sungai mungkin telah terlampaui, sementara pada anak sungai berikutnya debit puncak akan segera terjadi. Pengaruh ketidaksamaan waktu terjadinya debit puncak pada masing – masing anak sungai tersebut dapat menurunkan besarnya debit puncak total pada sungai utama (Damanhuri, 1997).

Pola Drainase dan Sistem Aliran Sungai
Kedudukan aliran sungai dapat diklasifikasikan secara sistematik berdasarkan urutan daerah aliran sungai. Setiap aliran sungai yang tidak bercabang disebut sub DAS urutan pertama. Sungai dibawahnya yang hanya menerima aliran dari sub DAS urutan pertama disebut sub-DAS urutan kedua, dan demikian seterusnya. Oleh karenanya, suatu DAS dapat terdiri dari sub-DAS urutan pertama, sub DAS urutan Kedua dan seterusnya (Asdak, 2002).







Gambar Pola drainase daerah aliran sungai ( Soewarno, 1991)

Sistem (aliran) sungai diklasifikasikan sebagai sistem influent, effluent, dan intermitten. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok (memberikan masukan) air tanah. Sebaliknya aliran sungai sistem effluent, sumber aliran sungai berasal dari tanah. Sistem aliran ini umumnya berlangsung sepanjang tahun. Oleh karena adanya sering disebut juga aliran tahunan atau parennial stream. Sistem aliran terputus atau intermitten umumnya berlangsung segera setelah terjadinya hujan besar. Aliran jenis inilah yang umumnya menjadi sumber air dari apa yang dikenal sebagai air tanah musiman (parched water table). Dalam suatu DAS, dapat dijumpai kombinasi dari berbagai sistem aliran sungai tersebut (Asdak, 2002).



Gambar Pola drainase daerah aliran sungai ( Soewarno, 1991)

Sistem (aliran) sungai diklasifikasikan sebagai sistem influent, effluent, dan intermitten. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok (memberikan masukan) air tanah. Sebaliknya aliran sungai sistem effluent, sumber aliran sungai berasal dari tanah. Sistem aliran ini umumnya berlangsung sepanjang tahun. Oleh karena adanya sering disebut juga aliran tahunan atau parennial stream. Sistem aliran terputus atau intermitten umumnya berlangsung segera setelah terjadinya hujan besar. Aliran jenis inilah yang umumnya menjadi sumber air dari apa yang dikenal sebagai air tanah musiman (parched water table). Dalam suatu DAS, dapat dijumpai kombinasi dari berbagai sistem aliran sungai tersebut (Asdak, 2002).
Tipe pola radial biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah dengan berbentuk kubah. Pola rektangular terdapat di deerah batuan kapur. Tipe dari pada pola sungai terdiri dari beberapa jenis yaitu dendritik, trellis, multi basin, dan radial. Paling umum tipe dendritik dengan karakteristik terjadinya penyatuan daripada banyak anak – anak sungai yang kecil menjadi sungai dengan tingkat yang lebih tinggi. Kemudian membentuk sungai besar disuatu daerah. Anak sungai tersebut sering kali terjadi karena adanya aliran permukaan dengan jumlah yang mencukupi dari curah hujan yang tidak masuk kesaluran yang sudah ada. Pola trellis memiliki karakteristik sungai utama yang panjang dapat menerima anak sungai pendek dari berbagai sudut. Pola multi-basin juga dikenal dengan sistem gila (deranged) yang terjadi di daerah payau, kemiringan rendah dan secara normal hanya memiliki sedikit anak sungai (Viessman et.al, 1989).
Gambar Pola drainase daerah aliran sungai ( Soewarno, 1991)

Sistem (aliran) sungai diklasifikasikan sebagai sistem influent, effluent, dan intermitten. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok (memberikan masukan) air tanah. Sebaliknya aliran sungai sistem effluent, sumber aliran sungai berasal dari tanah. Sistem aliran ini umumnya berlangsung sepanjang tahun. Oleh karena adanya sering disebut juga aliran tahunan atau parennial stream. Sistem aliran terputus atau intermitten umumnya berlangsung segera setelah terjadinya hujan besar. Aliran jenis inilah yang umumnya menjadi sumber air dari apa yang dikenal sebagai air tanah musiman (parched water table). Dalam suatu DAS, dapat dijumpai kombinasi dari berbagai sistem aliran sungai tersebut (Asdak, 2002).
Gambar . Klasifikasi geologi terhadap sistem aliran sungai (Asdak, 2002)

Karakteristik Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai merupakan daerah dimana semua air mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini pada umumnya dibatasi oleh topografi, yang berarti ditetapkan berdasar aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasar air bawah tanah karena air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian, nama DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol, yang umumnya merupakan stasiun hidrometri. Penetapan batas DAS sangat diperlukan untuk analisis, penetapan ini mudah dilakukan dari peta topografi untuk bagian sungai sebelah hulu (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
Daerah aliran sungai adalah daerah tempat presipitasi ini mengkonsentrasikan jatuhnya air ke sungai melalui permukaan tanah, garis batas
daerah aliran sungai yang memiliki luas pada peta topografi, daerah aliran sungai, topografi, tumbuh-tumbuhan dan geologi mempunyai pengaruh terhadap debit banjir, debit aliran sungai dasar dan seterusnya (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Bentuk – Bentuk Daerah Aliran Sungai
Sosradarsono dan Takeda (2003) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk DAS yang umum dijumpai adalah :
Daerah aliran sungai berbentuk bulu burung.
Jalur daerah kiri kanan sungai utama dimana anak-anak sungai mengalir ke  
sungai utama disebut daerah pengaliran bulu burung. Daerah pengaliran yang
demikian mempunyai debit banjir yang kecil, oleh karena waktu tiba banjir dari
anak sungai itu berbeda-beda. Sebaliknya banjir berlangsung agak lama.
Daerah aliran sungai berbentuk radial (menyebar)
Daerah aliran sungai yang berbentuk kipas atau lingkaran dan dimana anak- anak sungai menkonsentrasikan kesuatu titik secara radial disebut daerah aliran sungai radial. Daerah aliran sungai dengan bentuk demikian mempunyai banjir yang besar di dekat titik pertemuan anak-anak sungai.
Daerah aliran sungai berbentuk pararel
Bentuk ini mempunyai corak dimana dua jalur daerah aliran sungai yang bersatu di bagian hilir. Banjir itu terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai
Daerah aliran sungai yang kompleks
Hanya beberapa buah daerah aliran sungai yang mempunyai bentuk-bentuk ini dan disebut daerah aliran sungai yang kompleks.
Evaluasi Kualitatif
Dalam penyusunan model hidrologi, titik berat analisis dipusatkan pada proses pengalihragaman (transformation) hujan menjadi debit melalui sistem DAS. Semua komponen yang berpengaruh dalam proses ini perlu diamati dan ditelaah dengan cermat. Baik komponen hidrologi, meteorologi, geologi, secara kuantatif memberikan informasi tentang sifat masing-masing komponen maupun hubungan antar komponen dan kemungkinan jangkau nilai-nilai ekstrem yang terjadi di sistem DAS yang dimaksud (Sri Harto, 1993).
Sifat topografik DAS, berupa gunung, jurang, lereng yang sangat bervariasi dari suatu tempat ketempat lainnya. Pola tata guna lahan yang cenderung berubah pada setiap saat juga perlu mendapatkan perhatian. Perubahan yang  terjadi  lebih  banyak  disebabkan  oleh  intensitas  kegiatan  manusia (human activities), yang dapat menimbulkan perubahan sifat hidrologik secara perlahan ataupun perubahan secara mendadak. Keduanya perlu diperhatikan dan diantisipasi sebaik-baiknya (Sri Harto, 1993).
Debit aliaran (Q) yang keluar dari ujung bawah (outlet) suatu DAS selalu menjadi fokus perhatian untuk evaluasi hidrologi, terutama debit banjir (flood flows) dan debit puncak (peak flows). Kedua jenis aliran air dalam sungai tersebut menjadi indicator respon DAS terhadap masukan yang berupa hujan. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa dalam evaluasi hidrologi dalam skala DAS, penting sekali untuk memperoleh data aliran air yang bervariasi, dari mulai aliaran kecil (low flow) hingga debit banjir (peak flow). Cara yang biasa dilakukan adalah dengan melempar alat apung ketengah aliran sungai, kemudian mengukur waktu yang diperlukan untuk mencapai jarak yang telah ditentukan. (Soewarno, 1991).
Sedimen adalah hasil proses erosi baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, sungai dan waduk. Sedimen sering dijumpai di dalam sungai, baik terlarut atau tidak terlarut, adalah produk dari pelapukan induk yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama perubahan iklim. Hasil pelapukan batuan induk tersebut dikenal dengan partikel-partikel tanah. Oleh karena adanya transpor sedimen menyebabkan pendangkalan sungai, waduk, saluran irigasi, dan terbentuknya tanah baru dipinggir yang berbentuk delta-delta sungai (Effendy, 2003).
Berdasarkan pada jenis sedimen dan ukuran partikel-partikel tanah serta komposisi mineral dari bahan induk yang menyusunnya, maka dikenal dengan berbagai macam jenis sedimen seperti pasir, liat, dan lain sebagainya. Tergantung dari ukuran partikelnya, sedimen ditemukan terlarut dalam sungai atau disebut muatan sedimen dan merayap didasar sungai atau dikenal sebagai sedimen merayap (bed load). Jenis sedimen dibedakan atas 4 jenis sedimen yaitu: liat ukuran partikelnya < 0,0039, debu ukuran partikelnya 0,0039 – 0,0625, pasir ukuran partikelnya 0,0625 – 2,0 dan pasir besar ukuran partikelnya 2,0 – 64,0 (Asdak, 2002).
Kajian terhadap contoh sedimen sangat berguna untuk penentuan sifat fisik sedimen serta komposisi kandungannya. Interpretasi terhadap informasi tentang sifat fisik dan komposisi kandungan sedimen sangat penting untuk dikembangkan menjadi kajian lanjutan untuk analisis dinamika batimetri, ketahanan tanah, potensi penambangan atau pencemaran. Sedimen yang berukuran besar misalnya : pasir kasar, kerikil cenderung resisten terhadap gerakan arus. Jika kekuatan arus

cukup besar, sedimen tersebut cenderung terangkut dengan kontak yang kontiniu (mengelinding, meluncur, atau melompat-lompat) dengan dasar perairan. Sedimen yang berukuran kecil cenderung terangkut sebagai suspensi dengan kecepatan dan arah yang mengikuti kecepatan arah arus (Poerbandono dan Djurnarsjah, 2005).
Hubungan Hutan dengan Sedimentasi
Aktivitas pemanfaatan lahan antara lain adalah dalam bentuk pembalakan hutan, perubahan tata guna lahan, pembuatan bangunan-bangunan konservasi tanah dan air, pengembangan tanaman pertanian dan aktivitas lain yang bersifat mengubah kondisi permukaan tanah biasanya dikonsentrasikan di daerah hulu dan tengah suatu DAS. Pemanfaatan lahan tersebut dapat meningkatkan jumlah mineral dan komponen komponen organik dan anorganik lain yang terangkut masuk ke dalam sungai dan pada gilirannya dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap keseimbangan ion-ion yang ada dalam suatu daerah aliran sungai (Asdak, 2002).
Dampak yang ditimbulkan oleh adanya pembalakan hutan adalah sedimentasi yang besarnya bisa mencapai dua hingga tiga kali daripada normal. Muatan sedimen meningkat dari 180 ppm sebelum pembalakan menjadi 320 ppm selama tahun pertama setelah pembalakan (Hamilton dan King, 1983 dalam
Harto, 1991). Perbedaan besarnya sedimentasi pada waktu yang berbeda tersebut disebabkan oleh adanya karakteristik aliran hujan yang berlangsung di tempat penelitian tersebut. Sedangkan sumber utama sedimen berasal dari tempat yang dianggap rentan untuk terjadinya erosi seperti lokasi jalan hutan yang tidak dilengkapi dengan sarana pembuangan air, jalan sarad yang berdekatan atau sejajar dengan aliran sungai dan tempat tempat lain yang memiliki kemiringan lereng besar (Asdak, 2002).
Pengaruh Hutan Terhadap Tata Air (Hidrologi)
Seperti juga pengertian pada bagian sebelumnya, pengertian rusaknya sumber daya air dan sumber-sumber air dapat diartikan sebagai terjadinya perubahan baik langsung maupun tidak langsung terhadap air dan sumber air yang mengakibatkan air dan sumber air tersebut menjadi tidak dapat lagi mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Pada dasarnya air terdapat di bumi ini dalam suatu siklus yang disebut siklus hidrologi, sehingga dapat dipahami kerusakan air dan sumber air terjadi akibat terganggunya siklus tersebut. Gambar 3. menunjukkan proses terjadinya hujan sampai ke tanah dan mengalirkannya ke badan sungai (Andreanov dan Trihono, 2003).


Gambar . Siklus Hidrologi (Andreanov dan Trihono, 2003).
Gambar di atas menunjukkan bahwa keberadaan air di bumi sangat tergantung dari baik-buruknya siklus hidrologi yang berjalan. Jika kita dapat menjaga siklus hidrologi, dalam artian tetap membuat siklus tersebut berjalan alamiah, dimana air yang harusnya meresap ke dalam tanah dibiarkan untuk meresap agar menjadi air tanah, air permukaan dijaga agar tidak tercemar sehingga dapat dimanfaatkan, air hujan yang turun ke bumi melewati atmosfer yang bersih sehingga menjadi air angkasa yang berkualitas baik tentu keberadaan air dan sumber-sumber air (Andreanov dan Trihono, 2003).
Terganggunya siklus hidrologi yang mengakibatkan suplai air menjadi berkurang ditiap kondisi yang dilewati dalam siklusnya akan mengakibatkan dampak yang sangat luas, antara lain : kekeringan yang mengakibatkan gagal panen sehingga berlanjut pada krisis pangan, kesehatan yang mengakibatkan terjadinya penyakit dimana-mana, khususnya penyakit yang dikatagorikan sebagai waterborne desease (Andreanov dan Trihono, 2003).

Pengaruh Hutan Terhadap Erosi
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah : (1) melindungi permukaan tanah dari permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan memperkecil diamater air hujan), (2) menurunkan kecepatan dan volume air larian, (3) menahan partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakarannya dan serasah yang dihasilkan, dan (4) mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (Arsyad, 2000).
Dalam meninjau pengaruh vegetasi terhadap mudah-tidaknya tanah tererosi, harus dilihat apakah vegetasi penutup tanah tersebut mempunyai struktur tajuk yang berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan dan memperkecil diameter tetesan air hujan. Telah dikemukakan bahwa yang lebih berperan dalam menurukan besarnya erosi adalah tumbuhan bawah karena tumbuhan bawah merupakan stratum vegetasi terakhir yang akan menentukan besar-kecilnya erosi. Dengan kata lain, semakin rendah atau rapat tumbuhan bawah semakin efektif pengaruh vegetasi dalam melindungi permukaan tanah terhadap ancaman erosi karena tumbuhan bawah akan menurunkan kecepatan aliran terminal air hujan, dan dengan demikian, menurunkan besarnya tumbukan tetesan air hujan kepermukaan tanah. Oleh karenanya, dalam melaksanakan program konservasi tanah dan air melalui cara vegetatif, sistem pertanaman (tanaman pertanian) dan pengaturan struktur tegakan (vegetasi hutan) diusahakan agar tidak terjadi erosi (Arsyad, 2000).

Pengaruh Hutan Terhadap Persedian Air
Kegiatan tata guna lahan yang bersifat mengubah bentang lahan dalam suatu DAS sering kali dapat mempengaruhi hasil air (water yield). Pada batas tertentu, kegiatan tersebut juga dapat mempengaruhi kondisi kualitas air. Pengaruh yang sama juga dapat terjadi oleh aktivitas pembalakan hutan (forest logging) yang saat ini sedang gencar dilakukan oleh negara-negara tropis, terutama yang masih memiliki hutan yang cukup luas. Pembalakan hutan, perubahan dari satu jenis vegetasi hutan menjadi jenis vegetasi hutan yang lainnya, perladangan berpindah, atau perubahan tata guna lahan hutan menjadi areal pertanian atau padang rumput adalah contoh-contoh kegiatan yang sering dijumpai pada negara berkembang. Terjadinya perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut, dalam skala besar dan bersifat permanen, dapat mempengaruhi besar-kecilnya hasil air. Meskipun masih dalam perbedaan pendapat, pembabatan hutan (biasanya mengacu kepada hutan tropis) secara meluas dikhawatirkan dapat mempengaruhi distribusi dan pola curah hujan dan perubahan iklim lokal, regional dan bahkan lokal global (Hariyadi, 1988).
Pengelolaan vegetasi, khususnya vegetasi hutan, dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Beberapa pengelola DAS beranggapan bahwa hutan dapat dipandang sebagai pengatur aliran air (streamflow regulator), artinya bahwa hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Konsenkuensi logis dari adanya anggapan seperti itu adalah bahwa keberadaan hutan dapat menghidupkan mata-mata air yang telah lama tidak mengalirkan air, keberadaan hutan dapat mencegah terjadinya banjir besar (flash flood) dan kemudian menjadi kelihatan logis bahwa hilangnya areal hutan akan mengakibatkan terjadinya kekeringan atau bahkan mengubah daerah yang sebelumnya tampak hijau dan subur menjadi daerah seperti padang pasir (desertification). Anggapan diatas tersebut, pada banyak kasus tidak sesuai dengan hasil-hasil penelitian hidrologi hutan yang telah banyak dilakukan di daerah berilklim sedang (temperate zone) maupun didaerah tropis. Oleh karena itu, lebih didasarkan pada anggapan atau mitos daripada kenyataan, bahkan di negara yang sudah majupun sekalian. Namun demikian, harus diakui bahwa adanya anggapan tersebut telah mengilhami meluasnya gerakan konservasi air dan tanah dibeberapa negara Eropa lainnya ( Hariyadi,1988).

Gambaran Umum Hutan Tanaman Industri
Hutan tanaman industri muncul dilatar belakangi oleh kebutuhan kayu untuk keperluan industri dan kebutuhan papan bagi masyarakat yang semakin meningkat. Pada saat ini sumber daya alam (kayu) di hutan semakin berkurang, dimana permintaan dan kebutuhan industri dan masyarakat sebagai konsumen produk hasil hutan semakin meningkat jumlahnya. Untuk menanggulangi masalah tersebut maka muncullah pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan/kualitas lingkungan hidup dan membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan bagi masyarakat sekitar hutan (Iskandar et al., 2003).
Kehutanan merupakan suatu kegiatan yang bersangkut paut dengan pengelolaan ekosistem hutan dan pengurusannya, sehingga ekosistem tersebut mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Tujuan pembangunan kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang terdiri atas, pengelolaan hutan produksi berfungsi ekonomi dan ekologi yang kuat atau seimbang, pengelolaan hutan konservasi yang berfungsi ekologi. Pengelolaan hutan kebun raya sebagai fungsi ekonomi. Saat sekarang telah ditetapkan bahwa pembangunan kehutanan dan perkebunan dititikberatkan pada pemanfaatan sumber daya hutan dan kebun pada kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial secara simbang (Arief, 1994).
Defenisi hutan menurut pendapat Organisasi Pertanian dan Pangan Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO), berdasarkan hasil rumusan pada konverensi kayu di Bretton pada tahun 1944, adalah Seluruh lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi ataupun tidak, dapat menghasilkan kayu atau lainnya, mempengaruhi iklim atau tata air atau memberikan tempat tinggal untuk binatang ternak dan suaka alam (Loetsch dan Halter, 1964).






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar